
Kesusilaan pada umumnya diartikan sebagai rasa kesusilaan yang berkaitan dengan nafsu seksual, hal ini sesuai dengan Yurisprudensi HR 1 desember 1970, NJ No. 374 yang memberikan pengertian melanggar kesusilaan sebagai perbuatan yang melanggar rasa malu seksual.[1] Kesusilaan (Zedelijkheid) berbeda dengan kesopanan di mana kesusilaan memiliki arti yang lebih luas yaitu mengenai adat kebiasaan yang baik tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seseorang, Sedangkan Kesopanan (Zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antara pelbagai anggota masyarakat.[2]
Tindak Pidana kesusilaan terhadap anak diatur dalam Pasal 287 Ayat (1) KUHP dan Pasal 290 Angka 2 KUHP, yang rumusannya adalah:
Pasal 287 Ayat (1) KUHP:
“Barangsiapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Pasal 290 Angka 2 KUHP:
“Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;”
Persetubuhan adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak. jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.[3] Sedangkan Perbuatan Cabul, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kelamin, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.[4]
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tetang perlindungan anak mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan kesusilaan yang disebut dengan perbuatan cabul (percabulan) dan persetubuhan sebagaimana tercantum dalam Pasal 76D dan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, yang berbunyi:
Pasal 76D:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
Adapun unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut adalah:
- Unsur Subjektif:
a. Setiap Orang, adalah orang perseorangan atau korporasi (sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak) sebagai subjek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana yang dari padanya dapat dituntut pertanggungjawaban pidana.
2. Unsur Objektif:
a. Melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, bahwa unsur ini merupakan unsur yang bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu unsur ini telah terbukti maka unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan atau dianggap telah terpenuhi menurut hukum. yang dimaksud dengan kekerasan berdasarkan Pasal 1 Angka 15a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Memaksa merupakan bagian dari unsur kekerasan atau ancaman kekerasan.[5]
b. Memaksa Anak
Memaksa, menurut R. Soesilo adalah melakukan tekanan kepada seseorang sehingga orang itu berbuat sesuatu yang tidak akan diperbuatnya,[6] Dan menurut R. Soesilo memaksa itu harus dilakukan dengan “Kekerasan dan Ancaman Kekerasan.”
c. Melakukan Persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
Persetubuhan menurut R. Soesilo adalah peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak. jadi anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota perempuan sehingga mengeluarkan air mani.[7] Terhadap unsur ini, Perbuatan yang dilarang bukan saja melakukan persetubuhan dengannya tetapi juga melakukan persetubuhan dengan orang lain.[8] Yang dimaksud “dengannya” dalam Pasal ini adalah anak itu sendiri yang merupakan objek dari suatu tindak pidana.
Pasal 76E:
“Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Adapun unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut adalah:
- Unsur Subjektif:
Setiap Orang, adalah orang perseorangan atau korporasi (sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 16 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak) sebagai subjek hukum yang didakwa sebagai pelaku tindak pidana yang dari padanya dapat dituntut pertanggungjawaban pidana.
2. Unsur Objektif:
a. Melakukan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan;
Pengertian unsur melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan dalam Pasal ini serupa dengan penjelasan pada unsur Pasal 76D yang telah diuraikan sebelumnya.
b. Memaksa, Melakukan Tipu Muslihat, Melakukan Serangkaian Kebohongan atau Membujuk Anak, bahwa unsur ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah unsur ini terbukti maka unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan atau dianggap telah terpenuhi menurut hukum.
c. Melakukan atau Membiarkan dilakukan Perbuatan Cabul
Perbuatan Cabul, adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji, semuanya itu dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya : cium-ciuman, meraba-raba anggota kelamin, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Terhadap unsur ini, Perbuatan yang dilarang bukan saja melakukan Perbuatan Cabul tetapi juga membiarkan dilakukannya perbuatan cabul.[9]
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak tidak memberikan definisi yang jelas mengenai kedua perbuatan tersebut (Percabulan dan Persetubuhan), Hal tersebut menyebabkan banyak aparat penegak hukum (pembuat undang-undang, hakim, dan lain-lain) yang terkecoh atau salah dalam menentukan suatu perkara termasuk dalam tindak pidana perbuatan cabul atau persetubuhan dalam pelaksanaan pidana.[10]
[1]P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 12.
[2]Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2002), h. 110.
[3]R. Soesilo, Op.Cit., h. 209.
[4]Ibid., h. 212.
[5]R. Soesilo, Op.Cit., h. 167.
[6]Ibid.,
[7]R.Soesilo, Op.Cit., h.209
[8]Ibid., h.212
[9]Ibid., h.212
[10]J. M. van Bemmelen, Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-Delik Khusus, (Bandung: Binacipta, 1979), h. 172.