
Revenge Porn menurut European Institute for Gender Equality (2017). Cyber violence against women and girls. adalah Non-consensual pornography (the most common form of which is known as ‘revenge porn’) involves the online distribution of sexually graphic photographs or videos without the consent of the individual in the images. The perpetrator is often an ex-partner who obtains images or videos in the course of a prior relationship, and aims to publicly shame and humiliate the victim, in retaliation for ending a relationship. However, perpetrators are not necessarily partners or ex-partners and the motive is not always revenge.
Images can also be obtained by hacking into the victim’s computer, social media accounts or phone, and can aim to inflict real damage on the target’s ‘real-world’ life (for example, intending to cause a person to be fired from their job, or in some cases causing suicide).
Tindakan Pornografi non-konsensual (bentuk paling umum yang dikenal sebagai ‘pornografi balas dendam’) melibatkan distribusi online foto atau video grafis seksual tanpa persetujuan dari individu yang berada di dalamnya. Pelaku seringkali adalah mantan pasangan yang memperoleh foto atau video selama hubungan sebelumnya, dan bertujuan untuk mempermalukan korban di depan umum, sebagai pembalasan karena mengakhiri hubungan. Namun, pelaku belum tentu pasangan atau mantan pasangan dan motifnya tidak selalu balas dendam.
Foto/Video juga dapat diperoleh dengan meretas komputer, akun media sosial, atau telepon korban, dan dapat bertujuan untuk membuat malu kehidupan ‘dunia nyata’ target (misalnya, berniat untuk menyebabkan seseorang dipecat dari pekerjaannya, atau dalam beberapa kasus hingga menyebabkan bunuh diri).
Meskipun apabila pada saat merekam porn video/porn photo tersebut dilakukan dengan konsen bukan artinya dapat menyebarkan foto/video tersebut kepada publik apalagi digunakan untuk mengancam.
Berdasakan data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), pemerintah telah melaporkan hampir 1,4 juta konten negatif kepada platform media sosial hingga 6 Maret 2023 yang salah satunya adalah konten pornografi
Dampak dari Revenge Porn ini sendiri bukan main-main, korban harus mengatasi konsekuensi pribadi dan psikologis jangka panjang, mengingat foto atau video yang disebarluaskan dapat terus menghantui mereka sepanjang hidup. Menurut sebuah penelitian, 49 persen korban melaporkan bahwa mereka mengalami cyberharrassment dan cyberstalking oleh pengguna online yang melihat foto-foto mereka yang diunggah. Studi yang sama mencatat bahwa 80 hingga 93 persen korban mengalami tekanan emosional yang signifikan setelah foto-foto mereka diunggah tanpa izin.
Dampak psikologis yang dialami menurut sebuah artikel tahun 2016 yang diterbitkan di Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, korban Revenge Porn bisa merasakan kemarahan, rasa bersalah, paranoia, depresi, atau bahkan keinginan untuk bunuh diri. Memiliki gangguan psikologis seperti: paranoia, gangguan kecemasan, Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), hingga mengarah pada depresi akut. “Mengingat hal-hal seksual cenderung dianggap tabu di Indonesia, korban bisa jadi malah mendapatkan sanksi sosial dari lingkungannya, dan kurang mendapatkan dukungan moral.
Banyak konsekuensi negatif jangka panjang dari Revenge Porn yamg serupa dengan yang dialami oleh korban pornografi anak. Penghinaan dan ketidakberdayaan membuat para korban terlibat dalam pertempuran seumur hidup untuk mempertahankan integritas mereka. Akibatnya, korban Revenge Porn dapat menderita efek kesehatan mental, seperti depresi, menarik diri, rendah diri, dan perasaan tidak berharga. Dampak lainnya Selain kerugian psikologis, korban revenge porn mungkin mengalami pemutusan hubungan kerja atau kesulitan mendapatkan pekerjaan di masa depan. Saat ini, semakin banyak perusahaan yang melakukan pencarian online untuk mengevaluasi kandidat pekerjanya. Beberapa korban bakan berusaha mengubah nama mereka sebagai upaya melarikan diri dari masa lalu.
Dengan dampak yang begitu besar bagi korban Revenge Porn, bagaimana apabila yang menjadi korban adalah pasangan atau anak kita? Ya mungkin kita sedikit terlambat kita dapat menasihati mereka apabila kejadian yang seharusnya tidak perlu terjadi haruslah dihadapi. Banyak dari para korban sampai saat ini pula enggan untuk melapor, dikarenakan rasa malu dan takut untuk melapor.
Dan pasti akan timbul pertanyaan selanjutnya apakah dengan kita melapor dan selama proses hukum berlangsung foto atau video kita akan hilang dari social media? Atau setidaknya apakah setelah pelaku dihukum foto/video korban dapat benar-benar hilang dari bergai platform? Apakah ada upaya dari pihak yang berwernang untuk membantu seluruh korban yang foto/video nya tersebar?
Seperti halnya yang dikutip dari situs website bbc kejadian Porn Revenge yang harus menimpa Bunga, Bunga mengaku mengalami beragam kekerasan verbal dan fisik dari mantan pacarnya, mulai dari menyebutnya sebagai “pelacur”, mencekik, hingga menyebarkan konten seksual ke sosial media sebagai bentuk ancaman.[1]
Tindakan kekerasan itu muncul sebagai aksi balasan yang disebut Porn Revenge atau Non-Consensual intimate images yang dilakukan pelaku karena penyintas ingin mengakhiri hubungan. Bunga enggan melaporkan kasus itu ke polisi karena proses hukum yang panjang dan dianggap diskriminatif terhadap perempuan serta potensi ancaman pidana dalam UU tentang Pornografi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Bunga hanyalah satu contoh dari lebih 1.400 kasus kekerasan berbasis gender siber (KBGS) yang terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan tahun 2020, terjadi lonjakan tajam pengaduan KBGS yang juga dipengaruhi situasi pandemi virus corona, dengan kenaikan 348% dari 490 kasus di tahun 2019 menjadi 1.425 kasus di tahun 2020.
Sementara polisi menegaskan bahwa korban tidak perlu takut untuk melapor karena ada prosedur penanganan oleh polisi wanita (polwan) mulai dari pemeriksaan hingga penyembuhan trauma. Pemerintah, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) belum memberikan komentar terkait upayanya dalam mengatasi peningkatan KBGS.
Bunga yang kini berusia pertengahan dua puluhan tahun, mengenal mantan pacarnya sejak Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan menjalin hubungan yang sangat dekat saat kuliah.
Mereka lalu melakukan hubungan seksual, kemudian merekam serta memfoto keintiman itu.
“Saya melakukan hal sangat bodoh karena awalnya saya pikir sama dia saja, calon suami saya, semua saya kasih. Entah mau difoto, divideo, sesenangnya dia,” kata Bunga yang merahasiakan hubungan itu ke orang tuanya. Tidak disangka, ternyata foto dan video itu menjadi alat ancaman untuk “mengurung” Bunga.
“Awalnya hubungan kami baik. Tapi kemudian dia melarang tidak boleh berteman, tidak boleh ikut aktivitas kampus, pokoknya semua dibatasi, sampai akhirnya tidak tahan dan minta putus. Kami jadi sering berhantam. “Semakin toxic, dia bilang saya anjing, murahan, pelacur, parah banget. Masalah kecil jadi besar,” katanya. “Seperti burung dalam sangkar, kalau saya di dalam sangkar dia baik-baik saja, tapi kalau saya keluar, dia bisa mengamuk,” ujarnya. Bunga pun pernah mengalami kekerasan fisik. “Saat di mobil, saya minta putus, dia tidak terima lalu mencekik saya. Kaca mobil sampai retak dilempar barang sama dia. Saya sangat takut,” tambah Bunga.
Mantan pacar selalu mengancam akan menyebarkan video dan foto intim jika Bunga tidak menurut. Bunga menceritakan, saat di kampus, ia pun pernah diseret ke mobil disaksikan banyak orang.
“[Dia] sambil teriak akan menyebarkan foto-foto saya. Sudah gila apa ya? Semua orang tahu dan lihat, saya malu banget. Terus, dia juga sering lempar kondom ke rumah saya untuk mengancam,” katanya.
Tidak bisa cerita ke keluarga ditambah mengalami kekerasan dan ancaman, Bunga menyerah dan mencoba untuk mengakhiri hidupnya.
“Rasanya itu takut setiap hari, mau gila dan bunuh diri saja, sudah tidak sanggup lagi. Berkali-kali saya buka pintu mobil, mau lompat, saat melaju kencang di tol. Tapi ditahan sama dia,” katanya. “Jiwa raga saya mati, tidak bisa tidur, dan tidak tenang karena tetap harus disamping dia,” tambahnya. Bunga melewati waktu empat tahun kuliah bersama dengan mantan pacarnya di bawah tekanan. “Setiap hari saya minta putus, tapi bukan putus, malah perilaku kasar yang muncul, dari ucapan, tindakan hingga ancaman, jadi sulit banget,” katanya.
Kekerasan terus terjadi hingga Bunga lulus kuliah dan bekerja. “Dia datang ke kantor dan tarik-tarik saya. Saya dimarahin di mobil. Saya menangis tapi tidak keluar air mata. Saya depresi hingga tidak bisa berucap, pandangan kosong, di pikiran saya hanya satu, bunuh diri,” kata Bunga.
“Dia selalu mengancam akan share foto dan video, kali ini ke atasan kalau saya minta putus,” katanya.
Bertahun-tahun dalam posisi tertekan, akhirnya Bunga berani mengakhiri hubungan dengan bantuan temannya.
“Tiap malam saya menangis dan berdoa. Saya tidak sanggup lagi seperti ini, tidak tahan lagi, bisa gila, hidup tidak jelas, tidak bisa diam. Dan akhirnya muncul keberanian, saya putusin dan tinggalkan dia,” ujarnya. Dampaknya, Bunga mengalami teror, penguntitan, hingga ancaman dari mantan pacarnya.
Bunga lalu mencari bantuan dan bertemu dengan LBH APIK. “Kami mengirimkan surat somasi ke dia, dan tidak lagi diteror dan diikuti, namun hanya sementara,” katanya. Ancaman kemudian beralih ke tindakan. Foto-foto bernuansa seksual Bunga diunggah ke sosial media. “Baru-baru ini dia buat akun palsu dan unggah foto tubuh saya bernuansa seksual. Di akun pribadinya, dia upload foto saya, dan menghina saya,” katanya. “Saya takut berdampak ke keluarga, lingkungan kerja saya, saya akan malu, bahkan kehilangan pekerjaan,” katanya.
Bunga pun berdiskusi dengan LBH APIK dan disarankan untuk lapor ke polisi, namun tidak dilakukan. “Lapor polisi itu prosesnya panjang, tidak mudah dan menyita waktu. Mayoritas polisi juga pria jadi kurang nyaman. Lalu, perlu bukti dan saksi yang sulit dikumpulkan, belum lagi ancaman dari pelaku, ditambah saya sendirian. “Jadi saya memilih menerima saja sekarang. Tapi kalau situasi sangat parah mungkin saya akan ke kantor polisi, tapi sekarang saya berusaha untuk tidak,” kata Bunga. Semangat jiwa muda, aktif, dan ceria Bunga luntur akibat bertahun-tahun hidup dalam intimidasi.
Bunga sekarang menjadi pribadi yang tertutup, menarik diri dari pertemanan dan memiliki trauma jika ada yang mendekat. “Jadi seperti ada benteng perbatasan ke orang lain, selalu curiga,” tutupnya.
Pengacara publik dari LBH APIK, Husna Amin, mengatakan, pola kasus kekerasan seperti yang dialami Bunga meningkat tajam di masa pandemi virus corona.
“Meningkat tajamnya tidak hanya 100% tapi hingga 1000%, sebelumnya hanya 54 kasus, sekarang sudah lebih dari 400 lebih, mulai dari Jabodetabek, kota kecil hingga WNI di luar negeri. Setiap hari hampir ada 2-3 kasus datang ke LBH APIK untuk KBGS,” kata Husna yang mendampingi kasus Bunga.
Namun, kata Husna hanya 10% dari korban yang melapor kasusnya ke aparat penegak hukum. “Alasanya karena tidak mendapat support system baik dari keluarga atau lingkungan dekat, proses hukum panjang dan tidak berpihak pada perempuan. Selain itu korban juga takut dipidana karena bisa dijerat UU Pornografi dan UU ITE, seperti kasus di Garut dan Baiq Nuril,” katanya.
Padahal kata Husna, mantan pacar Bunga dapat dijerat pasal berlapis seperti penguntitan, ancaman dan penyebaran konten pribadi, pemalsuan identitas serta pencurian data pribadi. Husna menyebut, hingga kini tidak ada upaya dari pemerintah dalam melindungi perempuan yang terus dia sebut mengalami kriminalisasi.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Pornografi yang dikategorikan sebagai pornografi adalah adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pemerintah dalam UU nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi pasal 17 wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, yang mana dalam Pasal 18 Pemerintah dalam melaksanakan Pasal 17 berwenang untuk a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Dalam Pasal 19 juga menyatakan Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang: a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa Pemerintah memiliki tugas penting untuk melakukan pencegahan terhadap adanya konten Pornografi dalam hal ini termasuk “Porn Revenge”.
Selain itu Pemerintah melalui UU Pornografi dan UU ITE telah mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang merujuk pada tindakan Pornografi seperti:
- Pemerintah melalui regulasinya membentuk larangan menyebarluaskan atau mendistribusikan informasi yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
- Dalam Pasal 29 UU ITE jo. Pasal 1 angka 8 UU 19/2016 yang menambah baru Pasal 45B UU tindakan seseorang yang mengancam menyebarkan video seks lewat chat dapatlah dihukum.
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
- Pasal merekam video hubungan seksual tanpa sepengetahuan dan persetujuan Anda dan menyebarkan video seks tersebut, dapat dijerat dengan Pasal 29 UU Pornografi yang berbunyi:
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Namun, selain dapat dijerat dengan UU Pornografi, dikarenakan penyebaran video porno dilakukan melalui internet, maka pelaku juga dapat dijerat Pasal 27 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 1 angka 8 UU 19/2016 yang mengubah Pasal 45 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Perlu dicatat bahwa dalam hal tersebarnya video pornografi, berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, pihak yang dapat dikenakan hukuman adalah orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan.
Sehingga, korban tidak dapat dihukum berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi karena posisi Anda adalah sebagai orang yang dirugikan akibat direkam dan disebarkannya video privasi Korban.
Saat ini pula pemerintah telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Nomor 12 tahun 2022, yang mana menurut UU ini Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan perbuatan kekerasan seksual lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang sepanjang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Dalam UU ini juga mengenal adanya pencegahan adanya faktor yang menyebabkan terjadinya Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan keberulangan Tindak Pidana Kekerasan Seksual seperti yang diatur dalam UU Pornografi.
Adanya undang-undang ini bertujuan untuk a. mencegah segala bentuk kekerasan seksual; b. menangani, melindungi, dan memulihkan Korban; c. melaksanakan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; d, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; dan e. menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Hak dari korban Tindak pidana Kekerasan Seksual meliputi hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh Korban.
Dalam pasal 4 (1) UU ini menyatakan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: a. pelecehan seksual nonfisik; b. pelecehan seksual fisik; c. pemaksaan kontrasepsi; d. pemaksaan sterilisasi; e. pemaksaan perkawinan; f. penyiksaan seksual; g. eksploitasi seksual; h. perbudakan seksual; dan i. kekerasan seksual berbasis elektronik. (2) Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: a. perkosaan; b. perbuatan cabul; c. persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap Anak; d. perbuatan melanggar kesusilaarr yang bertentangan dengan kehendak Korban; e. pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; f. pemaksaan pelacuran; g. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; h. kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; i. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan j. tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari sini kita dapat memahami bahwa terdapat aturan yang lebih khusus mengatur adanya Tindak Pidana Kekerasan Seksual berbasis elektronik sehingga perbuatan Porn Revengre mendapat aturan lebih khusus lagi mengenai hukuman dan tuntutan pidananya. Hal ini salah satunya diatur dalam Pasal 14
(1) Setiap Orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud: a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp30O.0OO.00O,0O (tiga ratus juta rupiah).
(3) Kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali Korban adalah Anak atau Penyandang Disabilitas.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tidak dapat dipidana.
(5) Dalam hal Korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan Anak atau Penyandang Disabilitas, adanya kehendak atau persetu-iuan Korban tidak menghapuskan tuntutan pidana
Kita memang sudah memiliki UU baru tentang TPKS namun kita juga tetap memerlukan regulasi yang jelas dan ketat dengan perusahaan online, kita perlu mempromosikan tanggung jawab sosial untuk apa yg kita telah posting, dan negara perlu mengembalikan martabat para korban. Terkadang Pemerintah kesulitan dalam hal menghapus konten konten negatif dikarenakan pihak ketiga dalam hal ini perusahaan online memiliki aturannya tersendiri yang menyebabkan proses yang lama dan berlarut-larut. Pemerintah perlu memperhatikan kondisi dan mental korban TPKS yaitu dengan salah satunya memiliki peran aktif dan kewenangan penuh terhadap pemblokiran konten negatif di platform online.
Selanjutnya apa yang dapat dilakukan oleh Korban TPKS?
Dalam UU Pornografi Pasal 21 Masyarakat dapat melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan; c. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan yang mengatur pornografi; dan d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi guna melakukan pencegahan terjadinya TPKS.
Untuk Korban, amankan barang bukti baik berupa screen shot maupun URL, selanjutnya putus komunikasi dengan pelaku untuk keluar dari kontrol. Dan yang terakir, cari bantuan layanan hukum dan psikologis.
Apabila anda atau keluarga anda merupakan korban Porn Revenge atau TPKS anda dapat menghubungi kami untuk berkonsultasi.
[1] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-56629820