(menyikapi pernyataan atau Judgement masyarakat mengenai profesi advokat berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat dan Kode Etik Advokat)

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat (“Selanjutnya disebut UU 18/2003”). Profesi seorang advokat merupakan profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan.
Advokat dalam menjalankan profesinya tidak bisa terlepas atau dalam kata lain akan selalu terikat dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku maupun kode etik, yang mana UU 18/2003 tersebut telah diundangkan pada tanggal 5 April 2003 dan KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA yang disahkan pada tanggal 23 Mei 2002 (“Selanjutnya disebut Kode Etik Advokat”).
Namun, dalam kacamata masyarakat yang awam mengenai hukum. Profesi advokat seringkali dipandang sebelah mata. Yang mana sering disebutkan apabila “Advokat membela yang salah atau advokat membela yang bayar”. Hal tesebut seakan-akan menodai profesi advokat sebagai profesi yang officium nobile.
Sebagaimana pernyataan tersebut, perlu digaris bawahi kembali bahwa dalam menjalankan profesinya seorang advokat tidak bisa terlepas atau terikat oleh suatu undang-undang dan kode etik. Apabila kedua pernyataan tersebut dibahas satu persatu dengan membandingkan dengan UU 18/2003 dan Kode etik yang ada adalah sebagai berikut:
- “Advokat membela yang salah” pernyataan ini merupakan pernyataan yang tidak memanusiakan manusia, di mana ketika seseorang yang salah atau melakukan perbuatan yang dilanggar oleh suatu perundang-undangan sudah tidak perlu dihormati lagi hak-haknya sebagai manusia? Selain daripada itu maksud membela dalam profesi advokat bukan berarti membela tindakan yang diperbuat oleh seseorang yang salah tersebut, membela disini dalam artian membela hak-hak yang seharusnya diperoleh oleh seseorang yang salah tersebut selama dalam proses pemeriksaan sampai dengan akhir persidangan.
Salah satu asas yang berlaku di Indonesia adalah Asas Praduga tak bersalah atau Persumption of Innocence yang artinya seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan atau sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa ia bersalah. Selain itu, Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dalam sila 2 berbunyi: “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, Yang mana salah satu contoh pengamalan dari sila tersebut adalah menghormati hak-hak orang lain.
Selain dari pada itu, sebagaimana diatur dalam Pasal Pasal 3 Huruf a kode etik advokat disebutkan bahwa “Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.” Hal ini membuktikan apabila seorang advokat dalam menjalankan profesinya tidak diperkenankan untuk membeda-bedakan latar belakang seseorang yang akan ia bela.
Selanjutnya dalam Pasal 4 Huruf c kode etik advokat disebutkan bahwa “Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.” Dalam hal ini seorang advokat dituntut untuk bijaksana dan jujur dalam menangani perkara yang sedang ditaganinya, jujur terhadap klien sehubungan dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi selama proses perkara berlangsung dan apabila seorang advokat meyakini apabila suatu perkara yang akan ditangainya tidak mempunyai dasar hukum terdapat ketentuan yang memperbolehkan seorang advokat untuk menolak perkara tersebut, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Huruf g kode etik advokat.
Berdasarkan ketentuan tersebut, sudah jelas bahwa dalam menjalankan profesinya seorang advokat tetap memeperhatikan ketentuan undang-undang dank ode etik yang mengikat bagi seorang advokat itu terutama saat menangani suatu perkara yang harus didasarkan pada keahliannya.
- “Advokat membela yang bayar”, pernyataan ini merupakan pernyataan yang tidak masuk akal. Di mana pada setiap pekerjaan yang dilakukan seseorang sudah menjadi hal yang wajar untuk memperoleh upah atas apa yang telah dikerjakan atau dilakukannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 yang menyebutkan bahwa “Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada Kliennya.“ selanjutnya dalam ayat (2) diperjelas apabila “Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.”
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (2) tersebut, perlu digaris bawahi apabila besarnya honorarium seorang advokat didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak. Hal tersebut pun dipertegas sebagaimana Pasal 4 huruf D Kode Etik Advokat yang menyebutkan “Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien”.
Mengenai persetujuan apabila dikaitkan dengan syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) salah satunya adalah adanya kata “Sepakat”. Di mana sepakat tidak boleh diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan, Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kata sepakat merupakan syarat subjektif dari adanya suatu perjanjian yang apabila terdapat pelanggaran mengenai syarat hukum ini, akibat hukum yang terjadi adalah “perjanjian dapat dibatalkan”.
Sesuai ketentuan tersebut sudah jelas bahwa setiap honorarium yang diperoleh oleh seorang advokat dalam melaksanakan profesinya berdasarkan persetujuan kedua belah pihak dengan tidak terdapat kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Di mana kita ketahui apabila suatu perjanjian atau persetujuan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang menyepakatinya, hal ini sebagaimana asas pacta sunt servanda.
Selain dari pada itu, seorang advokat pun diwajibkan untuk melakukan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu atau hal ini sering disebut Pro Bono, hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Ayat (2) UU 18/2003.
Sehubungan penjelasan diatas sudah seharusnya kedua pernyataan atau Judgement tersebut sudah tak layak untuk diberikan atau dilekatkan pada seorang advokat. Yang mana seorang advokat sebagai profesi terhormat yang memberikan jasa hukum dan layanan hukum bagi masyarakat awam melakukan atau menjalankan profesinya sesuai undang-undang dan kode etik advokat.
Mengingat tujuan dari UU 18/2003 dan kode etik advokat dibentuk adalah untuk memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan hak asasi manusia.