
Penyidik Kepolisian bertugas untuk mengawali pemeriksaan terhadap perkara yang didgua merupakan tindak pidana yang selanjutnya berkas penyidikan dilimpahkan ke tahap persidangan yang dilakukan oleh kejaksaan. Salah satu dari tugas polri adalah melakukan penyidikan yang mana di dalamnya terdapat Upaya paksa yakni Penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Proses ini merupakan suatu mekanisme untuk mencari informasi yang cukup, serta menemukan dan mengumpulkan bukti-bukti yang sah mengenai perkara tersebut dan guna menemukan tersangkanya, hal ini tertuang didalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP.
Dalam Pasal 1 angka 20 KUHAP Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini. Sedangkan Penahanan diatur dalam Pasal 1 angka 21 yang menyatakan Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Dalam memutuskan untuk dilakukan penahanan perlu dengan pertimbangan yang dalam karena menyangkut Hak asasi dan hak untuk hidup, hak pemilikan, hak memelihara kehormatan, hak kemerdekaan, hak persamaan, dan hak ilmu pengetahuan. Sehingga dalam KUHAP sendiri diatur mengenai syarat penahanan yang dibagi dua yaitu Objektif dan Subjektif.
Syarat Objektif
Syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal:
- Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau
- Perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 331 ayat (1), Pasal 2353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 huruf a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 KUHP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 4 Undang- Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Syarat Subjektif
Syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut.[2] Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Penyidik dalam melakukan penangkapan memiliki aturannya tersendiri. Sahnya suatu penangkapan diperlukan syarat-syarat sebagai berikut :
- Dengan menunjukkan surat tugas penangkapan yang dikeluarkan oleh penyidik atau penyidik pembantu.
- Dengan memberikan surat perintah penangkapan kepada tersangka yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
- Surat perintah penangkapan tersebut harus dikeluarkan oleh pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah hukumnya.
- Dengan menyerahkan tembusan surat perintah penangkapan itu kepada keluarga tersangka, segera setelah penangkapan dilakukan (Pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP).
Alasan penangkapan dalam penyidikan perkara pidana adalah untuk kepentingan penyelidikan atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik atau penyelidik atas perintah penyidik terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup yaitu bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana.
Pengertian bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang melainkan harus terdapat bukti yang dinilai cukup untuk membuktikan bahwa terdapat Tindak Pidana.
Pada Lampiran Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1983 tanggal 4 Februari 1982, Bidang Penyidikan, tercantum antara lain:
Undang-undang tidak memberikan definisi mengenai “Bukti permulaan” dengan jelas. Hal ini dapat menyebabkan multitafsir sehingga terdapat perbendaan pandangan oleh penyidik dan praktisi hukum yang mana apabila penyidik dianggap sebagai bukti permulaan namun juga terdapat kemungkinan hakim praperadilan yang memeriksa sah tidaknya penangkapan, sesuatu itu bukan/belum dikategorikan sebagai bukti permulaan apalagi bukti permulaan yang cukup untuk menduga seseorang bahwa ialah pelakunya. Sebab apabila kekuatan hukum pembuktian dari alat bukti pada tahap penyidikan gradasinya akan dipersamakan dengan alat pembuktian pada tahap penuntutan dan pengadilan, besar kemungkinan penyidik akan mengalami kesulitan.
Sehingga KUHAP sendiri pun menciptakan kelonggaran kepada kepolisian memberikan kelonggaran kepada penyidik untuk menilai berdasarkan kewajaran apakah sesuatu hal itu merupakan alat bukti permulaan atau bukan.
Hal ini jelas dapat merugikan korban salah tangkap, berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi tidak seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, pensitaan, selain atas perintah tertulis atas kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan undang-undang.
Di Indonesia beberapa kasus korban salah tangkap seringkali terjadi, karena kesalahan ataupun kelalaian dari proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan prosedur atau peraturan perundang-undangan yang ada. Ini jelas mengakibatkan korban salah tangkap menderita baik secara fisik, materi dan mendapat stigma negatif dari masyarakat yang mengetahui hal tersebut, mental, emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hak- haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing masing negara terasuk penyalahunaan kekuasaan. Sudah selayakanya korban salah tangkap untuk diberikan Rehabilitiasi dan Ganti kerugian, namun meskipun sudah diberikan rehabilitasi banyak kasus korban salah tangkap tidak menerima ganti rugi ataupun proses ganti rugi baik secara materi maupun fisik.
Kesalahan penangkapan jelas merupakan tanggungjawab dari kepolisian, terjadinya salah tangkap dapat dikarenakan beberapa hal berupa:[1]
- Diduga telah terjadi pelanggaran disiplin/pelanggaran kode etik profesi Polri, pemeriksaan selanjutnya diserahkan kepada fungsi Propam Polri paling lambat tujuh hari setelah dilaksanakan pemeriksaan pendahuluan.
- Diduga telah terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik/penyidik pembantu dalam pelaksanaan penyidikan, proses penyidikan diserahkan kepada fungsi Resere Kriminal.
- Untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian kinerja penyidik/penyidik pembantu, catatan setiap kegiatan penyidikan berikut Berkas Perkara wajib disimpan dalam database System Pengawasan dan Penilaian Kinerja Penyidik (SPPKP).
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya salah tangkap antara lain:[2]
Faktor eksternal berupa :
- Keterangan saksi atau korban yang salah.
- Terduga kembar identik.
- Tindakan non profesional dalam mendeteksi kejahatan, identifikasi korban, tersangka dan korelasinya secara ilmiah.
Faktor internal berupa :
- Dinamika kerja yang kompleks.
- Terbatasnya sumber daya manusia yang membidangi.
- Proses penyidikan yang sangat
- Penyelesaian kasus yang dituntut diselesaikan dengan cepat
Sepanjang 2023 ada sejumlah kasus salah tangkap yang disertai kekerasan hingga penganiayaan, bahkan menyebabkan kematian dalam penahanan. Kasus tersebut tersebar di beberapa daerah Indonesia. Berikut daftar sebagian kasus sebagaimana dirangkum dari berbagai sumber:[3]
- Polisi salah target penangkapan bandar narkoba di Manokwari Lima oknum polisi dari Satnarkoba Polres Manokwari menyiksa pekerja batu bata bernama Widodo, 32 tahun, karena dicurigai sebagai bandar narkoba pada awal April 2023. Korban mengalami sejumlah luka di tubuhnya. Korban lalu datang melapor dengan membawa hasil visum. Atas kejadian ini, lima oknum polisi yang masih Bintara berinisial IAS, RWM, MSS, ER, dan HDS ditahan, serta dijadikan tersangka pada 10 April 2023. Mereka terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara.
- Remaja di Padang Panjang dianiaya atas dugaan pencurian motor Remaja berinisial RK (16 tahun) dan RL (15 tahun) ditangkap jajaran Polres Padang Panjang, Sumatera Barat, atas dugaan pencurian kendaraan bermotor pada Juli 2023 lalu. Melalui kuasa hukumnya, Fadhilah Tsani, korban mengalami trauma akibat penyiksaan yang dilakukan polisi. Korban mengaku mendapatkan pukulan, tendangan, hingga penyetruman, bahkan salah satu dari mereka mengalami patah gigi. Menurut Fadhilah, penangkapan lainnya tidak sesuai SOP. Barang bukti hanya berupa tuduhan dari seorang pelaku yang sudah ditangkap sebelumnya. Para korban dipaksa mengakui kejahatan yang tidak dilakukannya dengan siksaan.
- Salah tangkap kasus pencurian motor di Bengkulu Fiterson menjadi korban salah tangkap oleh anggota Polda Bengkulu dalam dugaan kasus pencurian sepeda motor pada 5 Juni 2023 lalu. Polisi mencokok warga Pasemah Air Keruh, Kabupaten Empat Lawang, tersebut dengan mengerahkan sekitar 50 personil tengah malam. Fiterson dimasukkan ke mobil dalam posisi mata tertutup. Fiterson mengaku mendapatkan perlakuan represif selama interogasi. Dia ditekan agar mengaku melakukan tindak pencurian semenjak di dalam mobil. Dirinya juga mendapatkan penganiayaan namun tetap bertahan pada pendiriannya tidak melakukan tindak pidana tersebut.
- Tersangka pencurian di Banyumas tewas diduga disiksa selama penahanan Tersangka Oki Kristodiawan tewas setelah anggota Polresta Banyumas menangkapnya dalam kasus pencurian dengan pemberatan. Pemuda 26 tahun ini ditangkap enam polisi berpakaian sipil pada 17 Mei 2023. Oki lalu ditahan dan tidak boleh dijenguk keluarga sampai 20 hari ke depannya. Pada 2 Juni 2023 sekitar pukul 10.00 WIB, polisi mengabari keluarga bahwa Oki telah meninggal. Oki dikabarkan kritis dan dirawat di RSUD Margono Soekarjo Banyumas dengan penyebab sakit ginjal dan liver. Kejanggalan mulai dicium keluarga korban saat polisi mengubah keterangannya bahwa Oki sudah meninggal pada pagi hari. Selain itu, ayah Oki, Jakam, diminta membuat pernyataan bahwa pihak keluarga tidak akan menuntut kepolisian dan mempermasalahkan kematian anaknya. Keluarga Oki didampingi LBH Yogyakarta lantas melaporkan masalah ini ke Polda Jawa Tengah pada 7 Juli 2023. Pihak keluarga meyakini bahwa Oki mendapatkan penganiayaan selama dalam masa penahanan. Pihak yang dilaporkan yaitu oknum berkaitan dengan penangkapan, penahanan, pemeriksaan, dan pengawas di tahanan.
Hak rehabilitasi bagi korban salah tangkap dituangkan dalam Pasal 97 Ayat 1 KUHAP yang menyatakan “Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Sedangkan Hak ganti kerugian bagi korban salah tangkap dituangkan dalam Pasal 95 Ayat 1 KUHAP yang menyatakan “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Tuntutan ganti kerugian juga dapat diajukan oleh ahli waris yang bersangkutan kepada pengadilan yang berwenang mengadili. Pemeriksaan terhadap ganti kerugian akan diputus di dalam sidang praperadilan.
Besaran ganti kerugian yang akan didapat oleh korban salah tangkap berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP minimal Rp500.000 dan maksimal Rp100.000.000. Sementara jika kekeliruan atau kesalahan penangkapan atau penahanan yang dialaminya mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian yang diterima adalah Rp25.000.000 hingga Rp 300.000.000. Adapun jika penangkapan atau penahanan yang dialami mengakibatkan mati, maka besarnya ganti kerugian yang diberikan sesuai aturan adalah Rp50.000.000 sampai dengan Rp600.000.000. Tuntutan Ganti kerugian dapat diajukan paling lama tiga bulan sejak tanggal salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima. Dalam hal perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan, ganti kerugian diajukan paling lambat tiga bulan sejak tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
Bagi para pejabat penegak hukum yang karena kesengajaannya dan/atau karena kelalaiannya menyebabkan terjadinye kesalahan dalam penangkapan dapat diberikan sanksi pidana dan/atau dikenakan hukuman administrasi sesuai dengan asas yang mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
[1] Jurnal tinjauan terhadap pemulihan korban salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik kepolisian Oleh Andrian Umbu Sunga. Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jogjakarta. 2016
[2] Jurnal Pertanggung Jawaban Hukum Aparat Kepolisian atas Tindakan Salah Tangkap di Tinjau dari Kuhap dan Peraturan Polri No 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri oleh Husni Fahri Fani, Dini Dewi Heniarti. Universitas Islam Bandung.
[3] “Daftar Kasus Penganiayaan dan Salah Tangkap Selama Tahun 2023”, https://tirto.id/gNSp