VISUM ET REPERTUM dalam Hukum Pidana

Visum Et Repertum (VER) berasal dari kata “visual” yaitu melihat dan “repertum” yaitu melaporkan, yang artinya “apa yang dilihat dan diketemukan.”[1] Setiady dalam bukunya yang berjudul “Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Orientasi Kepustakaan Praktis”memberikan definisi terkait VER yang merupakan suatu laporan tertulis dari dokter (ahli) yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya. Atas dasar hal tersebut, selanjutnya diambil kesimpulan yang merupakan pendapat dari seorang ahli ataupun kesaksian (ahli) secara tertulis sebagaimana yang tertuang dalam hasil pemeriksaan. [2]

Secara umum perihal VER tidak ditemukan dalam KUHAP secara eksplisit melainkan hanya ditemukan dalam Staatsblad 350 Tahun 1937, dalam Pasal 1 yang berbunyi:[3]

Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas sumpah khusus, sebagai dimaksud dalam Pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.

VER merupakan laporan ahli dan berdasarkan pada LN 1937-380 RIB/306 melalui ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP.[4] Istilah VER terlihat dalam Pasal 10 Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M04.UM.01.06 Tahun 1983 yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan ilmu kedokteran kehakiman disebut Visum Et Repertum.[5]

VER dalam perkara pidana diperlukan sehubungan dengan alat bukti terhadap:[6]

  1. Berhubungan dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, yaitu pelaku tindak pidana yang diduga menderita gangguan jiwa atau jiwanya cacat dalam tumbuh kembangnya;
  2. Penentuan umur korban/pelaku tindak pidana: a) berkaitan dengan korban tindak pidana terhadap anak, khususnya di bidang kesusilaan misalnya, sebagaimana ditentukan dalam KUHP Pasal 287, 288, 290 sampai dengan 295, 300 dan 301. Ketentuan KUHP yang berhubungan dengan anak sebagai korban tindak pidana di bidang kesusilaan dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan berlakunya UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; b) berkaitan dengan pelaku tindak pidana anak yang ditentukan dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
  3. Kejahatan kesusilaan diatur dalam KUHP Pasal 284 sampai dengan 290, dan Pasal 292 sampai dengan 294;
  4. Kejahatan terhadap nyawa, yaitu KUHP Pasal 338 sampai dengan 348;
  5. Penganiayaan, berkaitan dengan KUHP Pasal 351 sampai dengan 355;
  6. Perbuatan alpa yang mengakibatkan kematian atau terlukanya orang lain, yaitu KUHP Pasal 359 dan 360; termasuk kecelakaan lalu lintas sebagaimana ditentukan di dalam UU No. 22 Th 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

VER sebagai alat bukti sangat membantu dalam proses persidangan pengadilan, terutama apabila dalam perkara tersebut hanya dijumpai alat-alat bukti yang amat minim.[7] Salah satu contohnya adalah tindak pidana kesusilaan, dalam tindak pidana tersebut selalu dilakukan pelaku tindak pidana dalam keadaan yang sepi dan dilakukan terhadap korban. Sehingga yang dapat memberikan kesaksian dalam tindak pidana tersebut hanyalah korban.

Menurut Hamdani jenis-jenis VER adalah sebagai berikut:[8]

a.  VER untuk orang hidup yang terdiri dari:

1)  VER biasa. VER ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut;

2) VER sementara. VER sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan VER lanjutan;

3)   VER lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.

b. VER untuk orang mati (jenazah). Pada pembuatan VER ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi);

c.  VER Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP;

d.  VER penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah;

e. VER psikiatri yaitu visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa;

f.   VER barang bukti, misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya.

Dalam beberapa literatur asing, VER dikenal sebagai Medicolegal Report atau Medical Evidence. Jaimie menjelaskan sebagai berikut:[9]

Medical evidence has long been used to adjudicate crime, and doctors have served as expert witnesses in court for this purpose since at least the 19th century. However, attempts to standardize and professionalize medical evidence collection techniques in order to improve available evidence and facilitate legal advocacy on behalf of surviving patient-victims appear to be relatively recent, beginning in the 1970s and continuing to the present. For example, beginning in the 1970s, practitioner-activists allied with the reform agenda of the anti-rape wing of the second wave feminist movement in the United States sought to reform law enforcement and healthcare approaches to sexual violence. They attempted to create more victim-centered models of care, in part by advocating for routine collection of medical forensic evidence by specially trained healthcare personnel in order to corroborate allegations of rape.15 Similar reforms have been implemented in Western Europe. During the same period, doctors associated with the global anti-torture movement sought to provide specialized medical care and treatment for survivors of torture, document and classify physical injuries and psychological trauma resulting from different methods of torture, and facilitate prosecution.

[Bukti medis telah lama digunakan untuk mengadili kejahatan, dan dokter telah menjadi saksi ahli di pengadilan untuk tujuan ini setidaknya sejak abad ke-19. Namun, upaya untuk membakukan dan memprofesionalkan teknik pengumpulan bukti medis untuk meningkatkan bukti yang tersedia dan memfasilitasi advokasi hukum atas nama pasien-korban yang masih hidup tampaknya relatif baru, dimulai pada tahun 1970-an dan berlanjut hingga saat ini. Misalnya, mulai tahun 1970-an, praktisi-aktivis bersekutu dengan agenda reformasi anti-pemerkosaan dari gerakan feminis gelombang kedua di Amerika Serikat berusaha mereformasi penegakan hukum dan pendekatan perawatan kesehatan untuk kekerasan seksual. Mereka berusaha untuk lebih berpusat pada korban, sebagian dengan mengadvokasi pengumpulan rutin bukti forensik medis oleh perawatan kesehatan yang terlatih secara khusus personel untuk menguatkan tuduhan pemerkosaan. Reformasi serupa telah diterapkan di Barat Eropa. Selama periode yang sama, para dokter yang terkait dengan gerakan anti-penyiksaan global berusaha memberikan bantuan perawatan dan perawatan medis khusus untuk korban penyiksaan, mendokumentasikan dan mengklasifikasikan luka fisik dan trauma psikologis akibat metode penyiksaan yang berbeda, dan memfasilitasi penuntutan]

Berangkat dari penjelasan  Jaimie, bukti medis/bukti forensik medis sejak lama telah digunakan untuk mengadili suatu kejahatan dan seorang dokter pun telah menjadi ahli di Pengadilan untuk meningkatkan kualitas pembuktian dalam tindak pidana kekerasan seksual dengan memberikan bantuan perawatan medis khusus untuk korban dan pengdokumentasian atas luka fisik dan trauma psikologis. Sejalan dengan hal tersebut, National Institute of Justice (NJI) pada tahun 2006 mengakui kebutuhan peran bukti forensik dalam penyelidikan kasus pidana dalam hal ini kasus pemerkosaan.[10] Sebagai berikut:

Crime scene evidence for rape case include Biological (sexual assault kit, blood, semen, DNA, saliva), Fingerprints, Pattern Evidence (footprint), Firearms/Weapons (gun and other weapons), Natural/Synthetic Materials (clothes, bath and bedding, carpet, bindings), Generic Objects (vehicle, container, door, walls, furniture), Electronic/Printed Data (documents, computer, phone), Trace (hair, paper, glass, cigarette butt), plastic, metal, soil), Drugs.

[Adapun jenis bukti TKP dari kasus pemerkosaan meliputi bukti Biologis (alat penyerangan seksual, darah, air mani, DNA, air liur), Sidik jari, Bukti Pola (footprint), Senjata api / senjata (pistol dan senjata lainnya), Bahan Alami / Sintetis (pakaian, kamar mandi dan tempat tidur, karpet, binding), Objek Generik (kendaraan,kontainer, pintu, dinding, furnitur), Data Elektronik / Cetak (dokumen, komputer, telepon), Jejak (rambut, kertas, kaca,puntung rokok), plastik, logam, tanah), dan Narkoba.]

Menurut Paul[11]jenis laporan medis yang paling sering diminta adalah sebagai berikut:

1)    Reports on past medical history and present medical condition in relation to life insurance, matrimonial problems, fitness to drive (both private vehicles and public service or heavy goods vehicles), and adoption proceedings.

2)    Reports of medical examinations in civil cases over personal injury accidents, industrial diseases, testamentary capacity, the effects of illness or of injury on work capacity related to redundancy.

3)    Reports on medical examinations in alleged criminal cases, including personal injury offences (assaults, sexual assaults, incest, drink and drug offences, non-accidental injury to children), and other criminal offences such as shop lifting.

4)      Reports and opinions based on the interpretation of the medical findings of other doctors in both civil and criminal matters.

[1) Laporan riwayat kesehatan masa lalu dan kondisi kesehatan saat ini terkait dengan asuransi jiwa, masalah pernikahan, kesesuaian mengemudi (baik kendaraan pribadi maupun kendaraan umum atau kendaraan barang berat), dan proses adopsi;

2) Laporan pemeriksaan medis dalam kasus perdata atas kecelakaan cedera diri, penyakit industri, wasiat/testament, efek penyakit atau cedera kerja;

3) Laporan medis dalam kasus dugaan kriminal, termasuk pelanggaran cedera diri (penyerangan seksual, incest, pelanggaran minuman dan obat-obatan, cedera non kecelakaan pada anak-anak) dan pelanggaran pidana lainnya;

4) Laporan dan pendapat berdasarkan interpretasi atas temuan medis dokter lain baik perdata maupun pidana.]

Berdasarkan hal tersebut, tidak hanya VER fisik yang seharusnya dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan melainkan hasil pemeriksaan VER psiatrik untuk melihat kondisi kejiwaan baik pelaku tindak pidana maupun korban tindak pidana. VER psiatrik merupakan alat bukti pemeriksaan secara spesifik dan menjadi salah satu alat bukti di persidangan dalam beberapa kasus tindak pidana kekerasan seksual, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang meliputi:[12]

(1) Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: 

    a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; 

   b. alat bukti lain berupa informasi elektronik dan / atau dokumen elektronik sebagaimana diatur     dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 

  c. barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/ atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut. 

(2) Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/ atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik. 

(3)Termasuk alat bukti surat yaitu: 

    a. surat keterangan psikolog klinis dan/ atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa; 

    b. rekam medis; 

    c. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau 

    d. hasil pemeriksaan rekening bank.


[1] Erwin Asmadi, 2019, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Pustaka Prima: Medan, hlm. 175

[2] Tolib Setiady, 2018, Pokok-Pokok Ilmu Kedokteran Kehakiman Dalam Orientasi Kepustakaan Praktis, Alfabeta: Bandung, hlm. 39-40. 

[3] Budi Sampurna, d.k.k., 2008, Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan Hukum Sebuah Pengantar, Jakarta, hlm. 43

[4] Setya Trisnadi, 2013, Ruang Lingkup Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Pada Peristiwa Pidana Yang Mengenai Tubuh Manusia Di Rumah Sakit Bhayangkara Semarang, Sains Medika, Vol.5, No.5, < https://core.ac.uk/reader/236373460 > diakses 26 Pebruari 2021, hlm. 126.

[5] Y.A. Triana Ohoiwutun, 2008, Ilmu Kedokteran Forensik (Interaksi Dan Dependensi Hukum Pada Ilmu Kedokteran), Pohon Cahaya, hlm. 22

[6] Ibid., hlm. 22-23

[7] Michael Barama, 2011, Kedudukan Visum Et Repertum Dalam Hukum Pembuktian, Karya Ilmiah, Universitas Sam Ratulangi, hlm. 4

[8] Hamdani, Njowito, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Gramedia Pustaka Tama: Jakarta.

[9] Jaimie Morse, 2014, Documenting Mass Rape: Medical Evidence Collection Techniques As Humanitarian Technology, Genocide Studies And Prevention 8, 3,hlm. 65

[10] Ira Sommers and Deborah Baskin, 2011, The Influence Of Forensic Evidence On The Case Outcomes Of Rape Incidents, The Justice System Journal, Vol. 32, No. 3, hlm. 314, 324

[11] David M Paul, 1981, Writing Medicolegal Reports, British Medical journal, Vol. 282, hlm. 2101

[12] Undang-Undang Penghapursan Kekerasan Seksual, hlm.19.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x