
PP tentang Pengelolaan Hasil Sedimen di Laut Nomor 26 Tahun 2023 terbit pada 15 Mei 2023. PP ini melegalkan penambangan pasir laut yang dilarang Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau pulau kecil sejak 2007 dan membuka kembali izin ekspor pasir laut yang telah ditutup sejak 2003.
Dalam pertemuan Pada tanggal 8 Juni 2023 telah terselenggara diskusi mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di Kota Batam, Kepulauan Riau, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa ekspor pasir laut merupakan opsi terakhir dalam regulasi tersebut. Aturan ini merupakan upaya pemerintah mengutamakan pengelolaan hasil sedimentasi laut untuk proyek reklamasi dalam negeri. Dibuatnya aturan ini juga diperlukan untuk menertibkan pengerukan pasir laut agar tidak ada lagi kegiatan ilegal dan tidak terkontrol.
Bagaimana aturan mengenai pemanfaatan Pasir putih yang sesungguhnya ada di Indonesia saat ini? Bagaimana sejarahnya? Dan apa persoalannya?
Latar belakang penerbitan PP ini dikarenakan banyaknya proposal mengenai reklamasi yang mana yang menjadi bahan atau material reklamasi adalah pasir laut. Menteri Sakti Wahyu Trenggono berpendapat bahwa pemakaian material rekamasi dari pasir laut telah merusak lingkungan karena itu ia stop di Pulau Rupat (Riau). Ia menyatakan bahwa Pulau disitu sudah habis, ada beting karang yang hilang, lalu dari mana sumber material reklamasi jika pasir tidak boleh lagi? Ada yang namanya pulau timbul. Ini sedimen akibat persitriwa oseanorgrafi seperti arus laut, itu yang akan dipakai. Ia menambahkan bahwa sedimen ini timbunan, kalau untuk kepentingan dalam negeri, kenapa dilarang karena dapat bermanfaat untuk kepentingan bangsa. Ia menambahkan mengenai kontorversi mengenai PP ini ditujukan karena ada pembicaraan soal ekspor pasir laut ke Singapora, Menteri Sakti Wahyu Trenggono menyatakan bahwa ia tidak ikut dalam pembicaraan antara Jokowi dengan Singapura lagipula skema ekspor pasir B2B bukan G2G.
Sakti Wahyu Tregono juga mengatakan PP tentang pengelolaan sedimen laut ini terbut justru bertujuan untuk melindungi ekosistem laut dari sedimen atau endapan material di dasar laut, sehingga tidak merusak ekositem laut hingga dapat mengganggu jalur pelayaran. Hasil sedimentasi merupakan material organik dan nonorganik yang terbentuk secara alami seperti material vulkanis gunung berapi yang berada di dasar laut.
Namun dengan adanya PP ini bertentangan dengan UU No 27 tahun 2007 yang berisi pasal-pasal perlimdungan wilayah pesisir, contohnya seperti yang ada dalam pasal 9 PP No 26 Tahun 2023 secara gamblang mengizinkan pemanfaatan pasir laut untuk infrastruktur, reklamasi, pembangunan sarana dan prasaran, hingga ekspor.
Pada tahun 2002 terdapat Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2022 tentang pengendalian dan pengawasan pengusahaan pasir laut yang diperkuat dengan keputusan menteri perindsutrian dan perdaganan nomor 117 tahun 2003 tentang penghentian sementara ekspor pasir laut yang mana kebijakan ini guna mencegah kerusakan laut akibat pengerukan pasir secara besar besaran guna kepentingan ekspor.
Adanya PP ini juga mendapatkan banyak pertentangan dari beberapa pihak. Koordinator Nasional Destrutive Fishing Watch Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyatakan bahwa pengambilan sedimen bakal mengganggu ekosistem yang sudah terbentuk di dasar laut bahkan sedimen juga dapat berfungsi sebagai penahan gelombang laut yang apabila diangkut pesisir dan pulau terancam abrasi. Kepala Pusat Kajian Sumber daya Pesisir dan lautan IPB menambahkan bahwa terdapat kerawanan dalam pengambilan sedimen laut dengan kapal isap yang berpotensi terumbu karang ikut terisap.
Pengisapan Sedimen laut juga bertentangan dengan pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan. Laporan United Nation Enviroment Programme pada tahun lalu menyebutkan eksploitasi sedimen seperti pasir laut bisa berdampak muncul dan makin parahnya krisis ekologis di wilayah pesisir, laut dan pulau pulau kecil. Banyak pulau kecil terancam tenggelam. Sejalan dengan pernytaan sebelumnya GreenFacts.org pada tahun 2015 menyatakan ekspor pasir ke Singapura menjadi penyebab 24 pulau pasir di indonesia tenggelam.
Dengan diizinkannya kembali ekspor pasir laut akan menyebabkan kerusakan lingkungan bilamana dahulu nelayan hanya memakai perahu kecil sudah bisa dapat ikan, saat ini sudah tidak bisa lagi karena hábitat ikan bergeser.
Memang dalam Dalam PP Nomor 26 Tahun 2023 memiliki beberapa kekurangan seperti tidak mencamtunkan tujuan pembangunan perikanan dan kelautan diantaranya soal kesejahteraan nelayan, perluasan, pekerjaan, keberlanjutan serta pendapatan negara dan daya saing bangsa. PP ini juga tidak menempatkan kementrian kelautan dan perikanan sebagai pihak yang ikut serta dalam investasu sekro kelautan terutama pemanfaatan pasir laut.
Dalam PP ini juga terdapat peran Menteri yang menjadi representasi presiden dalam mengurusi perizianan penambangan pasir laut yang menyebabkan posisi menteri setara dengan ivestor, apabila terdapat dispute maka Menteri menjadi pihak yang ikut terlibat.
Untuk mencegah terjadinya dampak buruk akibat implementasi dari PP No 26 2023 perlu adanya aturan jelas dan upaya penegakan upaya hukum preventif bagi para pengusaha dengan melindungi daerah penangkapan ikan oleh nelayan dari perusakan dan pencemaran berlebih akibat penambangan pasir putih.