
Konsep mengenai Perjanjian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalamnya juga mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian, pembatalan hingga berakhirnya perjanjian. Jika kita ingin melihat syarat-syarat Terjadinya suatu perjanjian yang sah tentunya kita dapat melihat Bab II Bagian 2 Pasal 1320 sampai dengan Pasal 1337 Kuhper, dan apabila teradapat pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian maka dapat melihat di Pasal 1365 Kuhper yang menyatakan tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.
Namun seringkali salah satu pihak mencurigai pihak yang melanggar perjanjian, apakah pihak yang melanggar memang memiliki tujuan untuk melakukan penipuan atau memang hanya ingkar janji atau yang dikenal dengan wanprestasi.
Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan dan permasalahan hukum, bagaimana cara memberdakan kapan seseorang yang tidak memenuhi sebuah perjanjian dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi atau memang benar telah melakukan penipuan, kemana sengketa tersebut harus diselesaikan apakah dapat diselesikan secara perdata (gugatan wanprestasi/pmh) atau penyelesaian perkaranya dilakukan secara pidana yakni pelaporan ke kepolisian RI.
Pertama kita harus memastikan terlebih dahulu bahwa Perjanjian yang dibuat adalah perjanjian yang sah di mata hukum seperti yang tertera dalam Kuhper pada Pasal 1320 yaitu:
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu;
- suatu sebab yang tidak terlarang.
Sedangkan perbuatan penipuan diatur dalam Pasal 378 yang menyatakan sebagai berikut:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Atas permasalahan diatas Mahkamah Agung berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, namun masalah keperdataan, sehingga orang tersebut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.
Pandangan ini dapat ditemukan dalam Putusan No. 598K/Pid/2016 (Ati Else Samalo) yang menyebutkan bahwa:
Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra binti La Ode Mera (saksi korban) sebesar Rp4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana, sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Pandangan serupa juga terdapat dalam Putusan No. 1357 K/Pid/2015 (Hein Noubert Kaunang), yang menyatakan:
Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara para Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut para Terdakwa melakukan ingkar janji atau wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumah miliknya kepada saksi korban. Perbuatan para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan.
Dari putusan-putusan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya, suatu perkara yang diawali dengan adanya hubungan keperdataan dalam hal ini perjanjian, yang kemudian perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan setelah perjanjian tersebut dibuat, maka perkara tersebut adalah perkara perdata dan bukan perkara pidana.
Namun perlu diketahui pula bahwa tidak semua perbuatan tidak melaksanakan kewajiban perjanjian tidak dapat dipandang sebagai penipuan. Apabila perjanjian tersebut dibuat dengan didasari itikad buruk/tidak baik niat jahat dengan tujuan untuk merugikan orang lain, maka perbuatan tersebut bukan merupakan wanprestasi, tetapi tindak pidana penipuan. Pandangan ini terdapat dalam putusan No. 1689 K/Pid/2015 (Henry Kurniadi) yang menyebutkan bahwa:
Bahwa alasan kasasi Terdakwa yang menyatakan kasus Terdakwa bukan kasus pidana melainkan kasus perdata selanjutnya utang-piutang, antara Terdakwa dengan Astrindo Travel tidak dapat dibenarkan karena Terdakwa dalam pemesanan tiket tersebut telah menggunakan nama palsu atau jabatan palsu, hubungan hukum keperdataan yang tidak didasari dengan kejujuran, dan itikat buruk untuk merugikan orang lain adalah penipuan.
Putusan lain yang menyatakan hal serupa adalah Putusan No. 366K/Pid/2016 (I Wayan Sunarta) yang menyatakan dengan tegas bahwa perjanjian yang didasari dengan itikad buruk atau niat jahat untuk merugikan orang lain bukan wanprestasi tetapi penipuan dan Putusan No. 211 K/Pid/2017 (Erni Saroinsong)yang pada intinya menyatakan bahwa meskipun hubungan hukum antara Terdakwa dan Saksi Korban Robert Thoenesia awalnya pinjam meminjam uang sebesarRp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk modal kerja proyek pengadaan bibit kakao Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan. Namun, sebelum melakukan pinjaman tersebut Terdakwa telah memiliki itikad tidak baik kepada Saksi Korban Robert Thoenesia, maka perbuatan materii lTerdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 378 KUHP (penipuan).
Sehingga untuk dapat memgetahui bahwa apakah perbuatan pihak yang tidak memenuhi kewajibannya apakah masuk kedalam delik penipuan atau tidak maka perlu diketahui terlebih dahulu apakah dalam proses pembuatan perjanjian didasari atas itikad baik atau tidak.
Sumber: Katalog 4/Yur/Pid/2018