
Pemerintah baru saja menerbitkan PP Nomor 36 Tahun 2023 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (PP DHE SDA), yang Mencabut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam
Untuk mendukung pelaksanaan PP tersebut, telah diterbitkan 2 juga aturan turunan yakni KMK No. 272 Tahun 2023 tentang Penetapan Jenis Barang Ekspor SDA yang wajib DHE serta PMK Nomor 73 Tahun 2023 tentang Pengenaan dan Pencabutan Sanksi Administratif atas Pelanggaran DHE SDA
“Untuk Keputusan Menteri Keuangan telah diterbitkan KMK Nomor 272 Tahun 2023. Ini adalah keputusan mengenai komoditas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam yang tadi telah disampaikan, yang merupakan jenis dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan”, ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.[1]
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa terdapat penambahan 260 Pos Tarif dari yang sebelumnya sudah diatur dalam KMK 744/KMK.04/2020. Komoditas wajib DHE SDA tersebut merupakan usulan Kementerian/Lembaga yang membina masing-masing sektor, secara total jumlahnya menjadi 1.545 Pos Tarif. “Satu, untuk sektor pertambangan yang tadinya 180 pos tarif yang terkena DHE sekarang ditambahkan 29 pos tarif menjadi 209.
“Nah, kami akan menekankan sekali lagi yang telah disampaikan pak menko bahwa pos tarif komoditas yang diekspor yang tadi telah diatur dalam KMK nomor 272 tahun 2023 semuanya akan mulai berlaku 1 Agustus. Dan hanya berlaku bagi eksportir yang nilai pemberitaan pabean ekspornya lebih dari $250.000 per dokumen” tambahnya.
Namun menurut Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) kebijakan Baru DHE SDA ini justru menambah Beban Eksportir Batu bara
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah ini menimbulkan kewajiban yang akan menambah beban eksportir. PP ini mengatur mengenai kewajiban penempatan minimal 30% dari DHE SDA ke sistem keuangan Indonesia paling selama kurang 3 bulan.
“Aturan tersebut tentu akan menyulitkan eksportir dalam mengelola arus kas (cash flow), terlebih margin yang didapatkan oleh para eksportir tidak mencapai 30% maka dengan demikian modal kerja yang sudah dikeluarkan eksportir pun akan tertahan ditengah tren penurunan harga serta semakin meningkatnya beban biaya operasional,”ungkap Ketua Umum APBI Pandu Sjahrir [2]
Dijelaskan juga bahwa sejak semester II tahun 2022 tren harga batu bara mengalami penurunan yang tajam sementara disisi lain biaya operasional semakin meningkat. Biaya operasional penambang batu bara di tahun 2023 diperkirakan meningkat rata-rata 20-25% akibat kenaikan biaya bahan bakar, stripping ratio yang semakin besar sehingga biaya penambangan semakin tinggi, pengaruh inflasi dan faktor lain. Selain itu, kenaikan beban biaya penambang juga semakin berat dengan telah dinaikkannya tarif royalti.
Tarif royalti pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) naik dari rentang tarif 3-7% menjadi 5-13% yang diatur dalam PP No. 26 Tahun 2022 yang berlaku Agustus 2022 yang lalu. Sementara bagi pemegang IUPK-Kelanjutan Operasi Produksi (eks-PKP2B), tarif royalti tertinggi mencapai 28% yang diatur dalam PP No. 15 Tahun 2022.
[1]https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/Kemenkeu-Terbitkan-Aturan-Turunan-PP-36-2023
[2]https://www.tambang.co.id/apbi-kebijakan-baru-dhe-sda-menambah-beban-eksportir-ba